Perbedaan Hindu India & Hindu Bali : Mengungkap Kekuatan Nawasanga

Agama Hindu sudah ada sejak tahun 600 sebelum Masehi di India, yang merupakan lanjutan dari Brahmanisme atau juga kepercayaan Weda kuno. Namun demikian Hindu sebagai agama maupun tradisi, berbeda antara yang ada di India dengan di Nusantara khsusunya Pulau Dewata. Berikut ini adalah 10 Perbedaan Hindu Bali dan Hindu India yang Sering Dianggap Sama.

Agama Hindu di Indonesia masuk pada tahun 130 Masehi, Hinduisme memiliki sejumlah pandangan terhadap tuhan. Walaupun semua penganut agama Hindu berpedoman pada Weda tetapi perbedaan pandangan terhadap Tuhan tidak dapat dihindari. Berikut Perbedaan antara Hindu Bali dan Hindu India.

1. Beda Kultur

Hindu Bali dalam upacara dan peribadatannya mengunakan kultur khas nusantara. Sedangkan Hindu India mengunakan kultur khas India nya sendiri.

2. Beda Hari Raya

Agama Hindu di Bali merayakan Nyepi, Galungan, dan Kuningan. Sedangkan Agama Hindu di India tidak merayakan hari raya Nyepi, Galungan, Kuningan, hal tersebut dikarenakan mereka memiliki hari raya besarnya sendiri, seperti hari raya Dipawali, Durga Puja, dan Holly.

3. Agama Hindu di Bali jarang ada yang vegetarian, sedangkan Agama Hindu di India banyak yang vegetarian. Hal ini dikarenakan agama hindu di Bali berasal dari aliran Siwa Sidharta yang mengajarkan pokok-pokok dari Hindu Saiwa.

4. Agama hindu di Bali mempraktekkan catur warna, yang terdiri dari Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Sedangkan agama Hindu di Iindia tidak menerapkan catur warna, mereka hanya mempraktekkan pancawarna yang terdiri dari Brahmana, Kesatria, Waisya dan Sudra dengan tambahan pariah.

5. Agama Hindu Bali merupakan gabungan antara filsafat Weda dan Buddha. Agama Hindu India hanya mengunakan filsafat asli yaitu Weda.

6. Agama Hindu di Bali saat tahun baru Saka akan berdiam diri dirumah dan meninggalkan segala aktivitas. Agama Hindu di India saat tahun baru Saka akan keluar rumah dan berkumpul berramai -ramai.

7. Tempat ibadah Hindu Bali disebut Pura, sedangkan tempat ibadah Hindu India disebut Kuil.

8. Hindu Bali melakukan sembahyang sebanyak tiga kali sehari, sedangkan Hindu India sembahyang sebanyak dua kali sehari.

9. Peribadatan Hindu Bali lebih terbuka, sedangkan Hindu India lebih bersifat tertutup.

10. Hindu Bali lebih menekankan pada ritual peribadatan yang tenang dan khusyuk. Sedangkan Hindu India bisa melangkahi sesaji, bahkan saat pendeta sedang membacakan doa mereka bisa berteriak sehingga ibadah kurang hikmat.

Sesuatu Yang Spesial dengan Hindu Bali

Agama Hindu sudah ada sejak tahun 600 sebelum Masehi di India, yang merupakan lanjutan dari Brahmanisme atau juga kepercayaan Weda kuno.

Agama Hindu di Indonesia masuk pada tahun 130 Masehi, Hinduisme memiliki sejumlah pandangan terhadap tuhan. Mulai dari Monoteisme, Henoteisme, Politeisme, Pantaisme, Animisme, dan Ateisme. Agama Hindu mengenal adanya banyak dewa yang berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Dalam Hindu Bali, terdapat kepercayaan tentang konsep dewa yang disebut Dewata Nawa Sanga.

Dewata Nawa Sanga merupakan wujud dari simbol swastika. Simbol ini digambarkan dengan bunga Teratai yang kembangnya bercabang delapan dengan dua garis silang dan tengah seperti arah mata angin. Konsep Dewata Nawa Sanga diartikan sebagai sembilan dewa yang menguasai penjuru mata angin. Dewa-dewa tersebut mempunyai representasi dan ciri khas yang membedakannya dengan dewa-dewa lainnya. Nah, untuk mengenal lebih jauh sembilan dewa dalam Dewata Nawa Sanga, simak uraian berikut!

Nama-Nama Dewa dalam Konsep Dewata Nawa Sanga

Berikut adalah nama sembilan Dewa dalam Dewata Nawa Sanga beserta kedudukannya.

Read the rest of this entry

MAKAM RATU MAS MALANG & KI DALANG PANJANG MAS

MAKAM RATU MAS MALANG & KI DALANG PANJANG MAS

Sebagai bagian dari sejarah perjalanan Kerajaan Mataram, kedua tokoh ini tidak begitu tersohor sebagaimana tokoh-tokoh sejarah lainnya. Mungkin hanya sebagian kecil orang mengehatui sekelumit kisah di masa lalu melalui referensi yang ada dan hanya seadanya. Yang pasti, jejak sejarah masa lalu yang masih tersisa dan dapat disaksikan, seolah menceritakan betapa kelam kisah yang terjadi di masa lalu. Kisah antara ratu Mas Malang, Ki Dalang Panjang Mas, melibatkan Raja Amangkurat I, mungkin dianggap sebagai sejarah wingit yang di dalamnya terdapat kisah tabu dan pilu sehingga ada yang perlu dirahasiakan. Otoritas Keraton Mataram sendiri hingga saat ini sepertinya sengaja membiarkan situs sejarah ini sebagai mana adanya. Tak ada renovasi, tak ada pembangunan akses menuju lokasi situs sejarah ini. Seolah memang dibiarkan begitu apa adanya, agar tidak dikotori dan tersentuh banyak orang. Saya dapat memahaminya, hal itu merupakan suatu langkah yang bijaksana. Perhatian tidak musti diartikan merenovasi dan membangun. Bisa jadi menjaga seperti apa adanya untuk mempertahankan keaslian. Karena dari struktur asli yang masih tersisa di situs sejarah, suasana yang hening sunyi senyap itu, seolah ingin menggambarkan bagaimana kepedihan peristiwa yang terjadi di masa lalu.

RAJA KONTOVERSIAL

Bukan hal aneh, jika kita sering menyaksikan seorang tokoh kontroversial yang lahir dari orang tua yang hebat. Bukan hal yang mustahil bagi setiap orang untuk melahirkan generasi dengan gen resesif yang dominan, dan menjadikannya sebagai generasi yang gagal. Bahkan dalam setiap keluarga, biasanya ada seorang anak yang paling gagal, karena di dalamnya terdapat gen resesif dalam kadar yang berbeda-beda. Dalam kasus ini kita dapat menyaksikan betapa Raja Amangkurat I yang penuh sikap antagonis selama masa ia memimpin kerajaan. Sejauh yang saya tahu setidaknya ada 4 situs yang menjadi saksi sejarah korban kekuasaan Amangkurat I. Situs Antaka Pura merupakan salah satunya, dan yang lain adalah kompleks Pasarean Kanjeng Roro Hoyi (baca ; Oyi) di Banyusumurup, Pasarean Raden Ario Menggolo di kompleks Pasarean Eyang Panembahan Romo di Kajoran, Klaten, dan Petilasan Pangeran Trunojoyo di hutan Selo Kurung, Kec Ngantang, Kab Malang, Jawa Timur.

Read the rest of this entry

Selamat Datang Sura Binuka

Bulan Sura kali ini adalah Sura Binuka jatuh pada 1 Sura hari Kemis Pon tahun 1954 tahun Jimakir. Kamis Pon mempunyai jumlah neptu 15 dalam hitungan Saptawara (jumlah hari berdasarkan sistem penanggalan Masehi) dan Pancawara (jumlah hari dalam penanggalan Jawa) maka hitungannya jatuh pati. Sedangkan tahun 1954 dalam hitungan siklus windu atau 8 tahunan, jatuhnya pada tahun Jimakir atau Wasana artinya suwung (kosong). Bulan sura kali ini bertepatan juga dengan kalender Hijriyah 1 Muharam 1442 H. Biasanya sistem penanggalan Jawa terdapat selisih 1 atau 2 hari dengan sistem penanggalan Hijriyah. Namun demikian sistem kalender Jawa usianya sudah lebih tua selama 512 tahun jika dibandingkan dengan kalender Hijriyah. Artinya pada saat kalender Hijriyah mulai dibuat, saat itu sistem kalender Jawa sudah mencatat waktu selama 512 tahun.

Sura Binuka, seperti siklus bulan Sura sebelumnya, kita kenal antara lain dengan istilah Sura Duraka, Sura Moncer, Sura WIradat. Masing-masing mempunya makna secara khusus yang menggambarkan bagaimana keadaan yang akan terjadi selama kurun waktu satu tahun ke depan di mulai sejak tanggal 1 Sura. Misalnya tahun 2019 lalu, bulan Sura dimulai pada 1 September 2019 neptu Minggu Wage jumlah 9 atau jatuhnya sakit, tahun Wawu. Artinya selama setahun ke depan yang dimulai pada tanggal 1 September 2019 memasuki fase kelara-lara, banyak penyakit dan tahun wawu sendiri mempunyai karakter kering banyak debu atau banyak abu akibat dari letusan-letusan gunung api. Seperti kita sudah saksikan sendiri, memang selama fase Sura Wiradat jatuh sakit dan tahun wawu, banyak terjadi gunung api meletus disertai dengan akeh lelara atau banyak penyakit tentu saja seperti kita saksikan sendiri dengan adanya wabah penyakit.

Nah, bulan Sura yang akan datang merupakan Sura Binuka, artinya terbuka. Apanya yang terbuka ? Dalam pandangan mata batin saya, yang terbuka meliputi berbagai sektor kehidupan. Di antaranya adalah sektor ekonomi, sektor sosial dan budaya, bahkan sektor spiritual masyarakat. Itu artinya akan ada perubahan besar pada tatanan kehidupan manusia. Bukan saja terjadi pada lingkup Nusantara namun juga meliputi masyarakat seluruh dunia. Perubahan besar ini secara ekstrim dapat disebut sebagai era wolak-waliking zaman. Zaman yang akan serba terbalik. Namun demikian terbaliknya zaman ini bukan dari sesuatu yang baik menjadi kehancuran atau kejahatan. Saya melihat yang akan terjadi justru sebaliknya. Yakni fase zaman edan atau zaman kegelapan seperti yang saat ini masih berlangsung yang akan berangsur sirna. Selanjutnya akan berganti denga fase menuju pada zaman pencerahan. Kita melihat bagaimana sepak terjang zaman edan selama ini, di mana kebenaran dianggap kesesatan, kegelapan dianggap cahaya petunjuk, kencono katon wingko atau emas dianggap pecahan genteng atau sesuatu yang tidak ada harganya. Masih sebagai tanda-tanda zaman edan di mana para penjahat disangka sebagai orang suci, tuhan yang sesungguhnay dianggap berhala, sedangkan berhala justru dianggap tuhan sejati. Sumber-sumber kebenaran justru dianggap sebagai kesesatan. Tuan rumah dianggap tamu, sedangkan tamu malah menjadi penjarah tuan rumahnya. Banyak orang mengidap mental 3G (golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe). Banyak orang saling berebut mau menangnya sendiri, banyak orang mau benarnya sendiri, serta egoisme oportunisme menjadi prinsip dasar dalam menjali kehidupan sehari-hari. Akibatnya, suasana tatanan kehidupan manusia menjadi sangat runyam. Perang atas nama kebenaran menurut kelompok dan golongan terjadi di mana-mana, kerusakan alam begitu masif dan merajalela, kebinasaan manusia sekala besar terjadi oleh karena sebab-sebab yang sangat konyol.
Namun memasuki era Sura Binuka, artinya kekuatan alam melakukan koreksi dalam sekala besar atas kekeliruan bangsa manusia dalam memandang kehidupan ini. Sehingga Sura Binuka merupakan babak baru, dimulainya zaman pencerahan Nusantara maupun dunia. Sesuatu yang tadinya dianggap tidak mungkin terjadi, namun ternyata benar-benar terjadi. Dalam serat Jongko Joyoboyo dikiaskan dalam bentuk kalimat kumambange watu item, sileme prahu gabus.

Sura Binuka Neptu Jatuh Pati
Itulah secercah harapan yang akan dan sedang terjadi dalam tatanan kehidupan bangsa manusia, di Nusantara maupun dunia. Namun demikian, saya himbau kepada seluruh pemirsa yang budiman, yang kebetulan menonton video atau membaca konten ini jangan sampai lengah. Karena untuk mencapai fase itu, ada perjuangan berat, yang bisa diumpamakan antara hidup atau mati, mati atau mukti. Perjuangan antara hidup dan mati, antara mati atau mukti, termasuk pada saat ini warga dunia termasuk Indonesia sedang melewati masa pandemi atau pagebluk. Meskipun pagebluk kali ini tidak seganas pagebluk yang pernah terjadi melanda dunia misalnya wabah black dead, flu spanyol, yang telah membunuh antara 50 juta hingga 500 juta umat manusia penduduk planet bumi, atau pagebluk penyakit pes yang pernah terjadi di awal abad 19 melanda Nusantara. Saking ganasnya pagebluk hingga dikiaskan isuk lara sore mati, sore lara isuk mati. Namun pagebluk kali ini meskipun tidak seganas pagebluk zaman dahulu, ada hal yang tak kalah mematikan yakni matinya sektor ekonomi dunia. Sehingga dunia saat ini terancam mengalami resesi ekonomi. Selain pagebluk, kita harus mewaspadai fator gejolak alam yang sangat potensial akan terjadi mulai dari letusan gunung api, gempa bumi, banjir, angin dan lainnya. Selain resiko secara langsung, berbagai fenomena di atas juga dapat menimbulkan efek sekunder berupa penyakit, kemiskinan dan kelaparan. Ujung-ujungnya juga berupa kematian secara perlahan.
Di sini saya hanya akan menyampaikan bahwa, meskipun secercah harapan baik sudah mulai muncul, namun perjuangan belum selesai. Justru kewaspadaan harus ditingkatkan agar kita semua mampu melewati segala resiko terburuk berupa kematian seperti tersirat dalam karakter Sura Binuka tibo pati.

Bagaimana Cara Menghindari Resiko Sura Binuka Tiba Pati
Untuk meminimalisir segala resiko dan sebaliknya dapat meraih kesuksesan dan kemuliaan hidup, hendaklah kita selalu eling dan waspada. Jangan mengumbar nafsu angkara murka baik dalam bentuk tindakan maupun ucapan yang dilakukan dalam dunia nyata maupun dunia maya. Tibo pati atu jatuhnya pati atau kepati-pati artinya hidup dalam penderitaan yang berat hingga tertimpa kematian. Itu bukanlah harga mati. Saya ulangi lagi, hidup terlunta hingga kebinasaan itu bukanlah harga mati, melainkan sesuatu yang bisa kita hindari dengan cara sikap eling dan waspada. Perbanyaklah berdharma, tebarkan rasa welas asih kepada seluruh makhluk hidup, rapatkan diri Anda kepada leluhur.
Kemudian bukalah pikiran dan wawasan Anda seluas-luasnya. Bukalah mata, bukalah hati, jelajahilah ilmu pengetahuan seluas jagad raya ini agar mengetahu apa sejatinya hidup ini. Buanglah pola pikir puritan, pola pikir primordial, pola pikir yang dipenuhi fanatisme dan sentimen SARA. Karena pola pikir demikian itu hanya akan menjadi penjara yang mengurung kesadaran spiritual Anda. jika Anda terus memeliharanya, maka Anda akan menjalani hidup ini seperti di dalam goa. Anda menyangka semua yang ada di dalam goa itulah sejatinya hidup. Pada saat Anda berhasil keluar goa, betapa kagetnya menerima kenyataan bahwa sesungguhnya hidup ini jauh lebih indah dari yang anda sangka dan duga sebelumnya.

Tahun 1954 Jimakir atau Wasana (Kosong)
Untuk memaknai Bulan Sura yang jatuhnya pada siklus Windu Jimakir ini, saya melihat dari makna Jimakir itu sendiri yang artinya Wasana atau kosong. Apanya yang kosong ? Dalam padangan spiritual saya kosong ini saya artikan sebagai makna kekosongan atau suwung atau tidak ada apa-apa. Namun dalam spiritual Jawa, justru sajroning suwung itu kita dapat menemukan kesejatian hidup. Hal ini sebagaimana dalam konteks meditasi atau olah semedi cara Jawa yang berdasarkan prinsip duwe rasa ora duwe rasa duwe. Atau punya rasa, tidak punya rasa punya. Dalam makna yang lebih dalam lagi, artinya tidak berbeda dengan babahan hawa sanga, atau kosongkan sembilan lubang hawa nafsu. Kendalikan dan hanya berikan porsi yang proporsional, artinya Anda memenuhi suatu keinginan dan kebutuhan secara proporsional atau tidak berlebihan. Dalam falsafah Jawa ditamsilkan dengan kalimat “ngono yo ngono ning ojo ngono”. Jangan melebihi porsi yang seharusnya, karena justru akan menumbangkan pola keseimbangan hidup. Artinya Anda justru akan merusak tata hukum keseimbangan alam. Makan, minum, sex, hiburan lainnya jangan lah dilakukan secara berlebihan, karena akan merusak diri Anda. Seperti halnya yang terjadi dengan dunia saat ini. Kekuatan alam sedang memaksa umat manusia apapun suka bangsa dan agamanya untuk mengosongkan diri. Untuk refleksi dan evaluasi diri kekeliruan apa yang telah dilakukan selama ini. Manusia dipaksa oleh wabah, agar menyadari apa sesungguhnya ritual agama, bagaimana sesungguh berdarma atau beramal kebaikan itu dilakukan. Hanya orang-orang yang eling dan waspada, serta berhasil memahami Wasana atau kekosongan ini yang akan berhasil meminimalisir resiko Sura Binuka Tibo Pati, dan kemudian meraih anugerah yang agung.
Demikian dapat yang saya sampaikan kepada para pembaca yang budiman

Rahayu sagung titah dumadi, jaya-jaya wijayanti

Read the rest of this entry

WASPADA GELOMBANG KEDUA ; Ini Dawuh Leluhur

01 Juni 2020, Jam 13.00 WIB
Dawuh saking Eyang Ageng Nis Putri (Eyang Putri dari Kanjeng Panembahan Senopati Raja Mataram pertama). Memberikan arahan supaya membuat sayur lodeh dengan bahan utama berupa ubi jalar (telo pendem). Usahakan ubi yang putih atau kuning saja, jangan yang warna ungu. Bisa ditambah dengan sayur lainnya (tidak harus 7 macam). Misal ditambah daun melinjo, kulit melinjo, kacang panjang, labu siam, terong dan lainnya yang sekiranya mudah didapatkan. Setelah sayur lodeh dibuat, kemudian siapkan satu mangkuk kecil atau sedang untuk dihaturkan kepada para leluhur agung Nusantara, dan leluhur-leluhur yang menurunkan kita. Sajikan di meja akan atau ruang tengah, ditambah teh dan kopi tubruk, serta air bening. Gunakan cangkir atau gelas tanpa penutup, biarkan terbuka. Haturkan dengan bahasa masing-masing daerah, usahakan menggunakan bahasa yang santun. Intinya memohon seluruh entitas hidup terutama para leluhur untuk turun tangan langsung meredam pagebluk. Semakin banyak orang melakukan tentu saja akan semakin besar efektifitas dan kekuatannya.

FILOSOFINYA

Ubi Jalar atau Telo Pendhem

Telo pendhem, merupakan lambang atau simbol doa kepada Tuhan. Bisa dikatakan sebagai doa yang tak terucap, melainkan doa yang diwujudkan. Inti dari doa itu adalah memohon supaya wabah saat ini diPENDHEM, artinya dikubur, ditimbun, atau ditutup menggunakan tanah. Apa maksud yang ditimbun atau dikubur ? Tentu saja wabah penyakit saat ini, berupa virus. Virus ini termasuk elemen udara, biar diatasi oleh elemen tanah. Mumpung elemen tanah sedang lebih panas oleh karena adanya aktivitas elemen api yang lebih giat. Sehingga lebih cepat memusnahkan wabah itu.


Sayur Lodeh

Selain itu sayur lodeh ini menjadi bahasa isyarat, berupa “SOS” atau mohon pertolongan karena keadaan darurat. Leluhur sebagai entitas hidup yang telah berada di alam kelanggengan dan alam kamulyan, memiliki kemampuan lebih baik untuk memberi pangestu dan mendoakan anak keturunannya. Bahkan leluhur yang memiliki kemampuan lebih besar dapat andil lebih efektif. Leluhur yang mempunyai keahlian spesifik dalam bidang mengatasi wabah, tentu akan lebih intens turun tangan. Prosedur mohon pertolongan ini sama halnya Anda minta pertolongan pada ahli kesehatan, tim medis, atau dokter untuk melindungi diri Anda dari wabah. Mereka semua masih hidup, bedanya, tim medis masih menggunakan raga dan leluhur sudah tidak menggunakan raga. Simpel saja, jangan diperumit, nanti ndak malah bludrek njih.
Dawuh ini tidak khusus hanya untuk warga Jogjakarta saja, melainkan siapapun yang terketuk hati untuk membuatnya, di manapun panjenengan berada. Membuat sayur lodeh telo pendem, itu artinya Anda sudah menyalakan lampu SOS. Tentu akan menjadi prioritas untuk dilindungi dan diselamatkan. Semoga dulur-dulur terutama di wilayah yang sangat rawan penyebaran virus dapat melaksanakannya. Minimal akan berguna untuk diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat.

Read the rest of this entry

Asap Hitam Itu Akan Segera Bergeser Ke Barat

28 MEI 2020 Eyang Panembahan Bodo, belum mengizinkan ke luar kota Yogyakarta… Siapa Eyang PAnembahan Bodo ? Pasarean beliau ada di Makam Sewu, Pajangan, Bantul, DI Yogyakarta. Eyang Panembahan Bodo merupakan leluhur agung di zaman Majapahit akhir. Beliau dipanggil Bodo karena beliau tidak memilih memnjadi Raja di dalam Kerajaan, walaupun beliau memiliki hak untuk duduk di tahta kerajaan. Namun beliau lebih memilih untuk topo ngrame, berkelanan di antara warga masyarakat, berbuat apa saja yang berguna untuk menolong banyak orang di level grass root. Eyang Panembahan Bodo memiliki kesaktian yang sangat mumpuni, salah satu keahlian beliau adalah bidang pengobatan. Maka sangat cocok bagi orang-orang yang memohon obat untuk pergi mengunjungi atau marak sowan ke Pasarean beliau. Cukup bawa air bening, letakkan di atas pusara beliau dan mintalah sawab, untuk kemudian diminumkan kepada orang yang sakit. Namun jangan lupa nyekar ke sana dengan memperhatikan etika seperti saat kita marak sowan kepada eyang-eyang para sepuh yang masih hidup dengan raga. Sangat lah pantas jika kita membawa oleh-oleh, buah tangan a la kadarnya. Buah tangan untuk leluhur tentu lebih sederhana, cukup membawa bunga setaman, dan ganten atau kinang, jika tidak sulit dibeli. Selebihnya, jika Anda sedang punya uang cukup, bawalah serta pisang raja setangkap atau 2 sisir, tentu saja pilih yang bagus, supaya pantas. Anda menghargai diri sendiri, serta menghargai leluhur. Eyang Panembahan Bodo memiliki kesaktian lainya yang menakjubkan. Tangan kiri beliau selalu menyilang di dada, telapak tangan kiri menempel di pundak kanan. Jika tangan kiri di buka, seketika terjadilah badai dan hujan sangat besar, dengan disertai badai halilintar yang mengerikan.

Ada yang perlu saya sampaikan kepada sedulur semua, bahwa apa yang disebut-sebut sebagai keadaan new normal yang saat ini sedang ramai dibahas oleh berbagai kalangan. New normal adalah keadaan baru, yang memberikan kelonggaran pada warga masyarakat untuk beraktivitas di dalam rumah maupun di luar rumah secara hati-hati dan terbatas. Tentu saja dengan suatu adaptasi terhadap kondisi baru. Pola pikir dan tindakan, serta cara bekerja harus diubah dengan cara baru, dengan pertimbangan agar jangan sampai terjangkit virus corona. Tak dipungkiri, setelah 3 bulan aktivitas perekonomian relatif beku, banyak orang mulai cemas, tekanan dan kesulitan hidup semakin terasa. Itu sangat wajar. Maka Pemerintah merancang sebuah solusi, dalam bentuk pemberlakukan keadaan baru yang disebut new normal. Tapi itu masih wacana, dan masih dilakukan penggodokan. Artinya, belum ditetapkan secara resmi, mengingat wabah masih berkembang secara brutal di beberapa wilayah. Saat new normal diberlakukan, maka setiap individu dituntut menjadi orang yang cepat adaptasi, cerdas dan kreatif. Jika gagal, bisa saja tergulung oleh dinamika zaman.

Situasi dan kondisi Yogyakarta dan Bali sebagai pusat tujuan wisata nasional dan dunia menjadikannya sangat rentan sebagai pusat penyebaran virus. Tetapi perkembangan wabah di dua Propinsi ini memang sangat berbeda. Wabah tampak sangat terkendali, bahkan seolah virus menjadi lembek ketika memasuki dua wilayah ini. Semua itu tak luput dari kesadaran spiritual masyarakat di dua wilayah Propinsi itu. Semakin tinggi kesadaran spiritual, semakin tinggi pula kemampuan untuk mengendalikan wabah. Jawa Barat beruntung memiliki pemimpin yang disiplin. Jatim, warga masyarakat relatif memiliki kesadaran spiritual yang cukup bagus, namun Pemerintah Propinsi kiranya perlu mengevaluasi efektivitas kebijakannya soal penanganan wabah di lapangan. Apakah sudah berjalan secara efektif ? Lalu, Jakarta, Banten…? Saya kira hanya menunggu waktu… Gelombang ke dua bisa terjadi jauh lebih parah. Begitupun Jawa Barat, sedikit lengah bisa ambiiyyarrr. Jateng harus tetap konsisten dan mencari solusi terbaik agar warga masyarakat tetap bisa mencari makan. Saya melihat “asap hitam” itu, akan segera bergeser dari wilayah timur menuju barat. Itu saja. Monggo silahkan di artikan sendiri.

Saat ini JATIM sedang terpukul telak, namun pukulan itu selanjutnya akan bikin kapok. Artinya, JATIM akan belajar, dan menumbuhkan kewaspadaan tingkat tinggi. Kewaspadaan JATIM akan meningkat tajam beberapa hari ke depan. Pada saat JATIM pasang kuda-kuda, dalam posisi siaga penuh, maka pagebluk bisa saja dalam sekejap mabur ke JKT dan Propinsi sekitarnya. Ini sesuatu yang sangat menakutkan. Anda coba bayangkan, ketika harus melanjutkan pertempuran di saat amunisi telah menipis, dan saat Anda mengalami kelelahan. Anda bisa berimajinasi seperti apa akibatnya. Lantas siapa yang pantas disalahkan ? Jika kita berfikir obyektif, bukan omongan bermuatan politis, maka akan sulit untuk mencari kambing hitam. Karena virus ini memang seperti siluman. Apa yang kita hadapi adalah makhluk yang jauh lebih pandai dan cerdas dari yang Anda bayangkan. Kekuatanya jauh dari apa yang Anda perkirakan. Tapi…setidaknya Bali dan Yogya dapat menjadi pembanding (jika belum pantas disebut sebagai contoh), keadaan PSIKO-SPIRITUAL SOSIO-SPIRITUAL warga masyarakat dan pemimpinnya. Kiranya saya tidak berlebihan jika mengatakan, bahwa kearifan lokal memang lebih arif (cermat dan pandai) dalam mengelola perilaku dalam menghadapi pandemi ini. Karena kearifan lokal selalu sinergis dan harmonis dengan irama alam yang ada di sekelilingnya. Di manapun Anda berada, jangan berkecil hati, karena setiap wilayah atau daerah, adalah gudangnya kearifak lokal. Gudang itu selama ini mungkin sudah dianggap menjadi bangunan rongsok berupa gudang kuno sarang hantu. Tapi cobalah membuka…bukalah gemboknya, jika perlu dobrak pintunya…maka Anda akan menemukan segudang alat, segudang ilmu urip, bagaimana menghadapi pagebluk saat ini, bagaimana melumpuhkan wabah yang menjangkit saat ini.

Kesimpulannya, saya pun akhirnya mengurungkan rencana sekedar untuk ke perbatasan kota….! Karena perintah Eyang Panembahan Bodo pasti dengan alasan sangat kuat. Kula namung saget, tansah nyenyuwun, sagung para sedulur yang kebetulan membaca tulisan ini, selalu berada dalam naungan energi keselamatan. Mugya tansah manggih begja mulya. Nir sambekala, kalis ing rubeda. Rahayu sagung titah dumadi. Jaya-jaya wijayanti, sluman slumun…SLAMET !!